Metoda Pengobatan Herbal Ditinjau Aspek Medis
Sejarah pengobatan di dunia sebenarnya telah dimulai sejak
beribu-ribu tahun yang lalu. Pada awalnya, metoda pengobatan dilakukan
menggunakan berbagai jenis tumbuhan dan hewan. Hal ini merupakan
pencerminan dari kebudayaan dan kepercayaan magis mereka saat itu, yaitu
adanya kemampuan sihir, animisme, dan kehadiran dewa-dewi.
Kini, bahkan ketika ilmu pengetahuan telah berkembang sangat pesat,
pelayanan kesehatan menggunakan metoda pengobatan tradisional masih
banyak dimanfaatkan, baik di negara yang sedang berkembang maupun negara
maju. Menurut WHO, hingga 80% penduduk di negara berkembang dan 65% penduduk di negara maju telah menggunakan obat herbal.
Disebutkan juga bahwa faktor pendorong terjadinya penggunaan obat
herbal di negara maju antara lain adalah usia harapan hidup yang lebih
panjang pada saat prevalensi penyakit kronis meningkat, adanya kegagalan
penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu (seperti kanker), serta
meluasnya akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia. Dan
data dari sekretariat Convention on Biological Diversity (CBD) menunjukkan angka penjualan global obat herbal dapat menyentuh angka 60 miliar dollar AS setiap tahunnya.
Di Indonesia sendiri, obat herbal telah digunakan sejak
berabad-abad yang lalu. Hal ini dapat dibuktikan dari penemuan naskah
lama pada daun lontar husodo (Jawa), Usada (Bali), lontarak pabbura
(Sulawesi Selatan), dokumen serat primbon Jampi, serat racikan Boreh
Wulang Ndalem, dan relief candi Borobudur yang menggambarkan seseorang
yang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa obat-obat modern yang ada saat ini lahir dari sebagian obat tradisional. Sebut saja quinine® yang berasal dari tanaman kina sebagai obat malaria, dan vincristine®
(dari tanaman tapak dara) sebagai salah satu obat kanker. Kedua obat
ini sebenarnya telah digunakan sejak dahulu sebagai obat tradisional,
namun dosisnya belum dapat ditentukan. Baru setelah ditemukan suatu
teknik pemurnian substansi yang efektif, takaran dan khasiatnya dapat
diukur dan dikembangkan menjadi obat modern.
Kategori Obat Tradisional
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI)
nomor 246/Menkes/Per/V/1990, yang dimaksud dengan obat tradisional
adalah setiap bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan
tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman.
Obat tradisional tersedia dalam berbagai bentuk yang dapat diminum
(bubuk, kapsul, tablet), ditempelkan pada permukaan kulit atau mukosa
(suppositoria/yang dimasukkan ke dalam lubang kemaluan atau lubang
anus), tetapi tidak dalam bentuk obat suntik atau gas.
Pengobatan Tradisional = Ilmu Kedokteran Modern?
Ilmu kedokteran modern berkembang pada akhir abad ke-18 dan awal abad
ke-19 di Inggris, Jerman, dan Perancis. Disebut juga ilmu kedokteran
ilmiah dimana setiap pengobatan yang diberikan harus dibuktikan melalui
proses uji klinis. Kedokteran berdasarkan bukti (evidence-based medicine)
ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan cara kerja yang efektif
dengan menggunakan metode ilmiah serta informasi sains global yang
modern.
Begitupun dengan obat tradisional. Agar setara dengan obat modern,
obat tradisional harus melalui berbagai tingkatan uji klinis.
Berdasarkan tingkatan uji klinisnya, obat tradisonal dapat digolongkan
menjadi jamu (empirical based herbal medicine), obat ekstrak alam (obat herbal terstandar/scientific based herbal medicine), dan fitofarmaka (clinical based herbal medicine).
Jamu adalah jenis herbal yang belum melalui proses uji kelayakan, hanya
berdasarkan pengalaman masyarakat, sedangkan obat tradisional telah
diuji khasiat dan toksisitasnya (kandungan racun), namun belum
diujicobakan penggunaannya pada pasien.
Tingkat herbal yang saat ini telah diakui oleh ilmu kedokteran modern adalah yang telah melalui tiga uji penting, yaitu uji praklinik (uji khasiat dan toksisitas), uji teknologi farmasi untuk menentukan identitas atau bahan berkhasiat secara seksama hingga dapat dibuat produk yang terstandardisasi, serta uji klinis kepada pasien. Agar setara dengan obat modern, obat tradisional harus melewati berbagai proses tersebut. Apabila telah lulus uji klinis, obat herbal tersebut kemudian disebut fitofarmaka yang layak diresepkan oleh dokter dan dapat beredar di pusat pelayanan kesehatan.
Tingkat herbal yang saat ini telah diakui oleh ilmu kedokteran modern adalah yang telah melalui tiga uji penting, yaitu uji praklinik (uji khasiat dan toksisitas), uji teknologi farmasi untuk menentukan identitas atau bahan berkhasiat secara seksama hingga dapat dibuat produk yang terstandardisasi, serta uji klinis kepada pasien. Agar setara dengan obat modern, obat tradisional harus melewati berbagai proses tersebut. Apabila telah lulus uji klinis, obat herbal tersebut kemudian disebut fitofarmaka yang layak diresepkan oleh dokter dan dapat beredar di pusat pelayanan kesehatan.
Sejauh ini telah beredar 5-7 obat fitofarmaka yang sesuai standar
farmasi modern, kesemuanya memiliki logo fitofarmaka pada kemasannya,
yaitu tanda “akar hijau” menyerupai tanda salju dengan latar belakang
berwarna kuning muda, dikelilingi lingkaran berwarna hijau muda. Logo
ini merupakan tanda sertifikat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan
(Badan POM).
Departemen Kesehatan sendiri telah mengadopsi pengobatan herbal
dalam pelayanan medis dengan sebutan pengobatan komplementer melalui
Kepmenkes 1109/Menkes/Per/IX/2007 mengenai Penyelenggaraan Pengobatan
Komplementer Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan Kepmekes
1076/Menkes/SK/VII/2003 mengenai Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional.
Bahkan sejak tahun 2003 telah dibentuk Asosiasi Pengobatan
Tradisional Ramuan Indonesia (ASPERTI), dan saat ini Universitas
Indonesia (UI) sedang mempersiapkan Fakultas Kedokteran Herbal
(Komplementer) sebagai jurusan baru yang rencananya akan dibuka pada
tahun 2012. Sebenarnya ilmu kedokteran modern tidak menyangkal
efektivitas metoda pengobatan tradisional untuk penyakit tertentu,
selama telah dibuktikan melalui uji klinis yang memadai, atau pengobatan
dengan metoda konvensional sudah tidak bermanfaat.
Namun sayangnya seringkali para dokter menyangkal akan keampuhan dan manfaat obat-obatan herbal ini.
Perbedaan Obat Herbal dengan Obat Kimia
Obat Herbal :
1.Diarahkan pada sumber penyebab penyakit dan perbaikan fungsi serta organ-organ yang rusak.
2.Bersifat rekonstruktif atau memperbaiki organ dan membangun kembali organ-organ, jaringan atau sel-sel yang rusak.
3.Bersifat kuratif artinya benar-benar menyembuhkan karena pengobatannya pada sumber penyebab penyakit.
4.Lebih diutamakan untuk mencegah penyakit, pemulihan penyakit-penyakit komplikasi menahun, serta jenis penyakit yang memerluakan pengobatan lama.
5.Reaksi lambat tetepi bersifat konstruktif atau memperbaiki dan membangun kembali organ-organ yang rusak.
6.Efek samping hampir tidak ada, asalkan diramu oleh herbalis yang ahli dan berpengalaman.
2.Bersifat rekonstruktif atau memperbaiki organ dan membangun kembali organ-organ, jaringan atau sel-sel yang rusak.
3.Bersifat kuratif artinya benar-benar menyembuhkan karena pengobatannya pada sumber penyebab penyakit.
4.Lebih diutamakan untuk mencegah penyakit, pemulihan penyakit-penyakit komplikasi menahun, serta jenis penyakit yang memerluakan pengobatan lama.
5.Reaksi lambat tetepi bersifat konstruktif atau memperbaiki dan membangun kembali organ-organ yang rusak.
6.Efek samping hampir tidak ada, asalkan diramu oleh herbalis yang ahli dan berpengalaman.
Obat Kimiawi :
1.Lebih diarahkan untuk menghilangkan gejala-gejalanya saja.
2.Bersifat sympthomatis yang hanya untuk mengurangi penderitaannya saja.
3.Bersifat paliatif artinya penyembuhan yang bersifat spekulatif, bila tepat penyakit akan sembuh, bila tidak endapan obat akan menjadi racun yang berbahaya.
4.Lebih diutamakan untuk penyakit-penyakit yang sifatnya akut (butuh pertolongan segera) seperti asma akut, diare akut, patah tulang, infeksi akut dan lain-lain.
5.Reaksi cepat, namun bersifat destruktif artinya melemahkan organ tubuh lain, terutama jika dipakai terus-menerus dalam jangka waktu lama.
6.Efek samping yang bisa ditimbulkan iritasi lambung dan hati, kerusakan ginjal, mengakibatkan lemak darah.
7. Reaksi terhadap tubuh cepat
2.Bersifat sympthomatis yang hanya untuk mengurangi penderitaannya saja.
3.Bersifat paliatif artinya penyembuhan yang bersifat spekulatif, bila tepat penyakit akan sembuh, bila tidak endapan obat akan menjadi racun yang berbahaya.
4.Lebih diutamakan untuk penyakit-penyakit yang sifatnya akut (butuh pertolongan segera) seperti asma akut, diare akut, patah tulang, infeksi akut dan lain-lain.
5.Reaksi cepat, namun bersifat destruktif artinya melemahkan organ tubuh lain, terutama jika dipakai terus-menerus dalam jangka waktu lama.
6.Efek samping yang bisa ditimbulkan iritasi lambung dan hati, kerusakan ginjal, mengakibatkan lemak darah.
7. Reaksi terhadap tubuh cepat